Tribuana News
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyelengggarakan kegiatan Uji Publik Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Rancangan Permendikbudristek Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKSPT). Harapannya melalui acara ini, dapat menjamin perguruan tinggi seluruh Indonesia menjadi perguruan tinggi yang kondusif, aman dan bebas dari segala kekerasan.
Acara ini dihadiri oleh perwakilan Satuan Tugas (Satgas), pendidik, dan tenaga kependidikan Perguruan Tinggi Negeri (PTN), seperti Politeknik Negeri Madiun, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, dan Universitas Siliwangi, dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS), seperti Universitas Veteran Jawa Timur, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, dan Universitas Sunan Giri Surabaya.
Dalam kesempatan ini, Inspektur Jenderal, Chatarina Mauliana Girsang mamaparkan latar belakang terbentuknya PPKSPT. Ia mengatakan bahwa Kemendikbudristek telah membuat Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan yang mencakup jejang sekolah PAUD hingga menengah, sehingga perguruan tinggi yang merupakan jenjang pendidikan akhir juga perlu adanya aturan yang melindunginya. Untuk itu, Kemendikbudristek mengeluarkan Permendikbudristek nomor 31 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Namun, Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 memiliki keterbatasan dalam lima aspek, yaitu bentuk kekerasan, lokasi kasus, satgas, mekanisme penanganan, dan pengelolaan data.
Chatarina mengatakan saat ini, Permendikbudristek Nomor 30 terbatas hanya untuk bentuk kekerasan seksual, masih belum mengatur mekanisme penanganan kasus yang melibatkan lebih dari 2 perguruan tinggi/institusi lain, pembentukan satgas melalui mekanisme yang panjang (dengan adanya panitia seleksi), kedudukan satgas belum jelas dan ketidakjelasan mekanisme rujukan penanganan kasus yang tidak terkait pelaksanaan Tridharma, serta belum mengatur secara detail terkait pengelolaan data.
Ia juga menjelaskan bahwa RPP Permendikbudristek PPKSPT ini juga akan mengatur kekerasan fisik, kekerasan psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi, dan kebijakan yang mengandung kekerasan; mengatur mekanisme penanganan kasus yang melibatkan lebih dari 2 perguruan tinggi/institusi lain; penyederhanaan mekanisme seleksi Satgas (tanpa panitia seleksi) dan mempertegas hak dan kedudukan Satgas dalam struktur organisasi tata kerja perguruan tinggi; mengatur mekanisme rujukan kasus kekerasan yang tidak terkait pelaksanaan Tridharma ke mekanisme etik/disiplin pegawai; adanya sistem pengelolaan data kekerasan yang terintegrasi untuk mendukung perencanaan berbasis data program pencegahan dan penanganan kekerasan di perguruan tinggi dan Kemendikbudristek.
Mengenai alur penanganan kekerasan pada PPKSPT akan dimulai dari penerimaan laporan dari korban, selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan kepada pihak terkait, lalu disusun kesimpulan dan rekomendasi berdasarkan hasil pemeriksaan, selanjutnya dilakukan tindak lanjut kasus yang dialami dan adanya pemulihan berupa tindakan medis, terapi fisik, terapi psikologis dan bimbingan sosial dan rohani bagi korban/ pelapor.
“Perlu diingat bahwa pemulihan dapat dilakukan tidak hanya bagi korban. Karena biasanya yang melapor belum tentu dari korban, dan data pelapor ini harus dijaga kerahasiaannya,” ujar Catharina.
Sedangkan bagi para pelaku akan dikenakan sanki administratif oleh Kemendikbudristek atau pimpinan perguruan tinggi yang diklasifikasikan berdasarkan statusnya (ASN, non-ASN, mahasiswa atau warga kampus) dan dikategorikan menjadi tiga golongan, yaitu ringan berupa teguran tertulis/ pernyataan permohonan maaf secara tertulis, sedang, dan berat berupa pemberhentian tetap yang nantinya NUPTK pelaku dicabut dan tidak dapat mengajar di perguruan tinggi manapun atau pencabutan izin/ pemutusan hubungan kerja.
Selain itu, korban dan/atau terlapor dapat mengajukan keberatan kepada Kemendikbudristek jika keputusan sanksi dirasa tidak adil. “Apabila pengajuan keberatan berkaitan dengan laporan kebijakan yang mengandung kekerasan, Kemendikbudristek memerintahkan pembatalan untuk kebijakan yang terbukti mengandung kekerasan,”tambahnya.
Acara selanjutnya para peserta melakukan sesi diskusi dengan Inspektur Jenderal, Staf Ahli Bidang Regulasi, Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, dan Kepala Pusat Penguatan Karakter.
Sumber : kemendikbud.go.id
Diunggah : d.y.w.