Tribuana News. - Dilansir dari kamus online Merriam Webster pada Senin (17/07/2023), ‘toxic’ merupakan kata dalam Bahasa Inggris yang berarti ‘racun’ Selain itu, ‘toxic’ juga memiliki makna ‘mengandung atau menjadi bahan beracun yang mematikan’, ‘sangat berbahaya’, ‘sangat menyakitkan’.
Selanjutnya, dalam bahasa gaul, ‘toxic’ merujuk pada sifat atau perbuatan yang mengganggu atau merugikan orang lain. Memiliki makna yang negatif, kata ‘toxic’ ini biasanya disematkan pada hubungan antar individu, kelompok, atau komunitas.
Istilah ini pertama kali digunakan oleh Lillian Glass dalam bukunya tahun 1995 Toxic People dan digunakan untuk menunjukkan hubungan yang dibangun di atas konflik, persaingan, dan kebutuhan satu orang untuk mengendalikan orang lain.
Dalam konteks ini, penulis akan fokus pada pendidik di sebuah lembaga pendidikan yaitu sekolah terutama dalam mengidentifikasi faktor-faktor perilaku destruktif yang dapat menghambat kemajuan lembaga bahkan mendapat citra negatif, dikarenakan pendidik memainkan peran penting dalam hasil belajar siswa sedangkan lingkungan belajar mengajar yang efektif memiliki hubungan langsung dengan mental dan relasional siswa.
Hal-hal yang memicu guru berperilaku toxic di sebuah lembaga diantaranya adalah remunerasi guru yang rendah, ketidakpahaman, perilaku buruk, perilaku otoritatif, beban kerja yang berlebihan, bias gender dikalangan guru, kurangnya pelatihan dalam jabatan, dan budaya di sebuah lembaga. Perilaku destruktif pendidik yang secara negatif akan mempengaruhi interaksi antara guru dan siswa sehingga akan menghambat proses belajar siswa dan kesejahteraan psikologisnya di lembaga pendidikan.
Berikut 3 Perilaku Toxic Guru Yang Mengahambat Kemajuan Lembaga :
1. Indifference
Guru hanya peduli pada urusan sendiri, ia tidak terlalu peduli pada masalah yang dihadapi kolega guru yang lain. Ia juga cuek dengan perkembangan lembaga. Ia tak mau pusing dengan masalah peserta didik di luar kelasnya.
2. Inconsiatensi
Guru menunjukkan pencapaian yang tidak konsisten. Satu waktu ia sangat disiplin, di satu waktu ia justru menjadi virus yang melemahkan motivasi guru lain. Kadang ia sangat antusias menjalani SOP, kadang ia juga melalaikan SOP. Ia bekerja tergantung mood bukan tergantung tanggungjawab.
3. Complacency
Boleh jadi guru bekerja keras dan berhasil kemudian ia cepat puas. Ia tidak tertantang lagi belajar dan menciptakan prestasi baru. Ia selalu bernostalgia tentang prestasinya di masa lalu dan ia tidak mau belajar. Ia selalu puas dengan prestasi lokalnya dan tidak termotivasi untuk meningkatkan standar keberhasilan.