Tribunana News, Depok - Pembiayaan musyarakah, sebagai salah satu instrumen keuangan syariah, memiliki potensi besar untuk mendukung pertumbuhan ekonomi melalui kerja sama yang adil antara
pihak bank dan nasabah. Namun, dalam praktiknya, jenis pembiayaan ini juga menghadapi sejumlah risiko yang perlu dikelola dengan baik. Dalam artikel ini, saya akan menguraikan pandangan saya tentang manajemen risiko dalam pembiayaan musyarakah, dengan merujuk
pada konsep-konsep yang diuraikan oleh Dr. Abdul Azis dalam bukunya "Manajemen Risiko Pembiayaan Lembaga Keuangan Syariah."
Secara konseptual, pembiayaan musyarakah merupakan perjanjian kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk menjalankan suatu usaha, di mana masing-masing pihak memberikan
kontribusi modal dan berbagi hasil sesuai porsi modal yang disertakan. Keunggulan utama dari skema ini adalah kesesuaiannya dengan prinsip keadilan dalam syariah, di mana keuntungan dan
kerugian ditanggung bersama sesuai dengan kontribusi masing-masing. Namun, keunggulan ini
juga menjadi sumber risiko, karena keterlibatan aktif dari kedua belah pihak dalam pengelolaan usaha dapat membuka celah bagi berbagai risiko, seperti risiko moral hazard, risiko operasional, dan risiko likuiditas.
Salah satu tantangan paling krusial dalam pembiayaan musyarakah adalah risiko moral hazard, yaitu kecenderungan salah satu pihak untuk bertindak tidak sesuai dengan perjanjian karena adanya asimetri informasi. Dalam konteks ini, mitra usaha mungkin tergoda untuk menyembunyikan informasi mengenai kinerja usaha atau bahkan menyalahgunakan dana yang telah diperoleh. Untuk mengatasi hal ini, sebagaimana ditekankan oleh Dr. Abdul Azis, pengawasan yang ketat dan terstruktur menjadi kunci. Mengingat sifat kemitraan dalam pembiayaan musyarakah, bank tidak hanya sebagai pemberi dana, tetapi juga sebagai pengawas aktif yang memiliki hak untuk mengakses informasi keuangan secara real-time.
Menurut saya, pengawasan ini harus didukung oleh teknologi terkini, seperti
penggunaan software manajemen keuangan yang memungkinkan transparansi laporan
keuangan secara real-time. Dengan demikian, bank dapat meminimalkan risiko penyelewengan dana dan memastikan bahwa dana digunakan sesuai tujuan. Selain itu, penting pula untuk menekankan pentingnya membangun hubungan yang berbasis kepercayaan antara bank dan
mitra usaha. Salah satu cara untuk meningkatkan kepercayaan ini adalah melalui kontrak yang jelas dan terperinci. Kontrak harus mencakup tanggung jawab masing-masing pihak, mekanisme
pembagian keuntungan dan kerugian, serta prosedur penyelesaian sengketa jika terjadi perselisihan. Saya percaya bahwa dengan memperkuat aspek legal ini, risiko moral hazard dapat ditekan secara signifikan.
Risiko operasional merupakan ancaman signifikan bagi keberhasilan pembiayaan musyarakah. Selain risiko internal seperti kurangnya kompetensi manajerial, perubahan kondisi eksternal seperti fluktuasi harga komoditas atau bencana alam juga dapat memicu kegagalan usaha. Analisis kelayakan usaha memang krusial, namun tidak cukup. Bank perlu berperan aktif dalam meningkatkan kapasitas mitra usaha melalui program pelatihan yang komprehensif. Studi kasus pada Bank Syariah Indonesia menunjukkan bahwa program pendampingan usaha yang intensif mampu meningkatkan tingkat keberhasilan proyek pembiayaan musyarakah hingga 20%.
Selain itu, bank juga harus mempertimbangkan faktor eksternal yang dapat memengaruhi kelangsungan usaha, seperti perubahan kebijakan pemerintah, fluktuasi harga bahan baku, dan kondisi ekonomi global. Salah satu langkah mitigasi yang dapat dilakukan adalah dengan menyediakan asuransi syariah untuk melindungi mitra usaha dari kerugian yang disebabkan oleh faktor eksternal ini. Dengan adanya asuransi, mitra usaha dapat lebih fokus pada pengembangan usahanya tanpa harus terlalu khawatir terhadap risiko-risiko yang berada di luar kendali mereka. Bank juga dapat memberikan dukungan dalam bentuk pengelolaan risiko bersama dengan pihak ketiga, seperti konsultan manajemen atau lembaga penjamin keuangan syariah.
Lebih lanjut, terdapat pula risiko likuiditas yang dapat timbul ketika mitra usaha tidak
dapat memenuhi kewajibannya pada waktu yang telah disepakati. Dalam pembiayaan musyarakah, ketidakmampuan mitra usaha untuk memberikan bagi hasil sesuai jadwal dapat memengaruhi likuiditas bank, terutama jika pembiayaan musyarakah ini menjadi bagian besar dari portofolio pembiayaan bank tersebut. Untuk mengelola risiko ini, Dr. Abdul Azis
menyarankan diversifikasi portofolio sebagai langkah mitigasi. Saya menilai langkah ini sangat efektif, tetapi saya juga ingin menambahkan pentingnya membangun sistem cadangan likuiditas.
Bank dapat menyisihkan sebagian hasil dari pembiayaan lain sebagai dana cadangan untuk menutupi kekurangan likuiditas sementara.
Dalam hal diversifikasi, bank juga dapat mengembangkan portofolio pembiayaan yang mencakup sektor-sektor usaha dengan risiko berbeda. Misalnya, mengombinasikan pembiayaan
di sektor pertanian, manufaktur, dan perdagangan untuk mengurangi risiko konsentrasi pada satu sektor tertentu. Diversifikasi ini tidak hanya mengurangi risiko likuiditas, tetapi juga meningkatkan stabilitas pendapatan bank secara keseluruhan. Bank syariah juga dapat
mempertimbangkan pengembangan produk musyarakah yang inovatif, seperti pembiayaan berbasis teknologi atau kolaborasi dengan startup lokal yang memiliki potensi pertumbuhan tinggi.
Opini saya, meskipun risiko-risiko tersebut tidak dapat sepenuhnya dihilangkan,
manajemen risiko yang baik dapat mengubah tantangan menjadi peluang. Bank syariah, dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen risiko yang holistik, dapat meningkatkan kepercayaan
masyarakat terhadap pembiayaan musyarakah. Selain itu, langkah-langkah seperti peningkatan literasi keuangan bagi mitra usaha dan inovasi teknologi dalam pengelolaan pembiayaan dapat
memberikan nilai tambah yang signifikan.
Saya juga berpendapat bahwa penting bagi bank untuk berperan aktif dalam membangun ekosistem usaha yang mendukung pembiayaan musyarakah. Bank dapat bekerja sama dengan
pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi non-pemerintah untuk menciptakan program-program yang mendukung pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Dengan
adanya dukungan dari berbagai pihak, pembiayaan musyarakah dapat menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif. Program-program pendampingan usaha, seminar
edukasi keuangan, dan forum diskusi antara bank dan mitra usaha dapat menjadi cara efektif untuk meningkatkan kualitas pembiayaan ini.
Dalam kesimpulannya, manajemen risiko dalam pembiayaan musyarakah bukan hanya tentang mengidentifikasi dan memitigasi risiko, tetapi juga tentang menciptakan sistem yang mendukung keberlanjutan usaha bersama. Dengan pendekatan yang tepat, pembiayaan
musyarakah dapat menjadi instrumen yang tidak hanya memenuhi prinsip-prinsip syariah, tetapi juga memberikan kontribusi nyata bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan.
Dengan inovasi, kolaborasi, dan pengelolaan yang baik, pembiayaan musyarakah dapat menjadi model pembiayaan yang unggul di masa depan, memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat.
Penulis : Fathya Aliya Ramadhani
Mahasiswi STEI SEBI, Depok, Jawa Barat